Ini sudah hari ke Lima Rina
kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan
bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.
Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Rina bukan siapa-siapaku. Ia hanya
menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini.
Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.
Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku
berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga
kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan
kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah
warung kelontongan kecil di depan rumah.
Penghuni kamar pertama adalah Anita. Ia cantik dan selalu wangi karena ia
bekerja sebagai seorang beauty advisor kosmetik terkenal di counter kosmetik
sebuah plaza megah. Anita supel, periang dan pandai berdandan.
Kamar kedua dipakai oleh Tina. Ia juga cantik. Katanya ia bekerja di sebuah
restaurant. Tetapi yang mengantarnya pulang selalu bukan laki-laki yang sama.
Kepulan rokok mild juga tidak pernah lepas dari bibirnya yang seksi.
Tetapi aku bukan tipe pemilik kost yang rese’. Mereka kuberi kunci pintu supaya
bila pulang larut malam tidak perlu mengetuk-ngetuk pintu dan membuatku
terganggu. Aku tidak terlalu pusing dengan apa pun yang mereka kerjakan. Toh
mereka selalu membayar uang kost tepat waktu. Bukan itu saja, menurutku, mereka
cukup baik. Mereka hormat dan sopan kepadaku. Apa pun yang mereka lakoni, tidak
bisa membuatku memberikan stempel bahwa mereka bukan perempuan baik-baik.
Rina datang dua bulan yang lalu dan menempati kamar ketiga. Kutaksir usianya
belum mencapai tiga puluh tahun. Paling-paling hanya terpaut dua tiga tahun di
bawahku. Ia tidak secantik Anita dan Tina, tetapi ia manis dan menarik dengan
matanya yang selalu beriak dan senyumnya yang tulus. Ia rapi. Bukan saja
kamarnya yang selalu tertata, tetapi kata-katanya pun halus dan terjaga. Ia
membuatku teringat kepada seorang perempuan yang nyaris sempurna. Perempuan di
masa lampau yang…ah…aku luka bila mengingatnya.
Oh ya, Rina juga tidak pernah keluar malam. Ia lebih banyak berada di rumah,
bahkan ia tidak segan-segan membantuku menjaga warung. Kalaupun ia keluar
rumah, ia akan keluar untuk tiga sampai empat hari setelah menerima telepon
dari seseorang laki-laki. Laki-laki yang sama.
Bukan masalah kemurungannya saja yang aneh bagiku. Tetapi sudah dua minggu
terakhir Rina tidak pernah keluar rumah. Bahkan tidak menerima atau menelepon
sama sekali. Yang tampak olehku hanyalah kegelisahan yang menyobek
pandangannya. Dan puncaknya adalah lima hari terakhir ini.
"Rina, ada apa? Beberapa hari ini kamu kelihatan murung…," aku tidak
bisa mengerem lidahku untuk bertanya, ketika kami hanya berdua saja di rumah.
Warung sudah tutup pukul sepuluh malam. Anita dan Tina belum pulang. Tetapi Rina
kulihat masih termangu dengan mata kosong.
Ia menoleh dengan lesu setelah sepersekian menit diam seakan-akan tidak mendengarkan
apa yang aku tanyakan. Kemurungan tampak menggunung di matanya yang selalu
beriak. Tetapi ia cuma menggeleng.
"Apa yang sekiranya bisa Mbak bantu?" aku tidak peduli andai ia
menganggapku rese’.
Lagi-lagi hanya gelengan. Ia masih duduk seperti arca membatu. Tapi mampu
kubaca pikirannya gentayangan. Rohnya tidak berada di tubuhnya. Entah ke mana
mengejewantah.
Rina memang tidak pernah bercerita tentang dirinya, tentang orang tuanya,
asalnya, sekolahnya, perasaannya, atau tentang laki-laki yang kerap
meneleponnya. Aku sendiri juga tidak pernah menanyakannya. Mungkin ada hal-hal
yang tidak ingin dia bagi kepada orang lain. Maka biarlah ia menyimpannya
sendiri. Bukankah aku juga seperti itu?
Sepi terasa lindap, seakan menancapkan kuku-kukunya mengoyak angin yang
terluka. Hening itu benar-benar ada di antara aku dan Rina. Aku merasa
tersayat. Karena sunyi seperti ini sudah kusimpan lima tahun lamanya. Kenapa
sekarang mendadak hadir kembali?
Lalu aku bangkit dari dudukku, mengambil satu seri kartu sebesar kartu domino.
Tetapi yang tergambar bukan bulatan-bulatan merah. Tetapi berbagai macam bentuk
berwarna hitam. Aku menyimpannya sudah lama. Sejak mataku selalu berembun, lalu
embun itu menitik di ujung hati. Sejak sepi yang tanpa warna mulai mengakrabi aku.
Sejak itulah aku mulai berbagi resah dengan kartu-kartu ini. Mereka banyak
memberiku tahu tentang apa saja yang aku ingin tahu.
Anita dan Tina sering melihatku bermain dengan kartu-kartuku di tengah malam
ketika mereka pulang. Sejak melihatku bermain dengan kartu-kartu ini, mereka
juga sering ikut bermain. Ada saja yang mereka ceritakan padaku melalui
kartu-kartu ini. Jualan yang sepi, para langganan yang pelit memberikan tips
sampai kepada pacar-pacar mereka yang datang dan pergi.
Aku menyulut sebatang dupa India. Aromanya semerbak langsung memenuhi ruangan.
Aku suka. Setidaknya mengusir hampa yang sejak tadi mengambang di udara.
Kukocok setumpuk kartu itu di tanganku. Kuletakkan di atas meja di depan Rina.
"Mari, temani Mbak bermain kartu. Ambillah satu…," ujarku.
Mata Rina memandangku. Bibirnya tetap rapat. Tetapi matanya mulai berembun.
Dengan sebuah gerakan lamban tanpa semangat ia mengambil sebuah kartu. Lalu
membukanya.
"Ah! Hatimu sedang kacau, sedih, kecewa, tidak menentu. Kau terluka,"
gumamku ketika melihat kartu yang dibukanya.
Seperti aku dulu…, aku melindas gelinjang rasa yang sudah lama kupendam.
Aku mulai membuka kartu-kartu berikutnya. "Kau sedang memikirkan
seseorang,…ah bukan…kau merindukannya…penantian… jalan panjang…menunggu…kau menunggu
seorang laki-laki?"
"Ya," suaranya gamang terdengar seperti datang dari dunia lain.
Kuteruskan membuka kartu-kartu itu. "Menunggu… halangan… perempuan…dia
beristri?" kutanya ketika tampak olehku gambaran seorang perempuan di atas
kartu itu.
"Ya," kali ini suaranya seperti cermin retak berderak. Ia luka sampai
seperti sekarat.
Kurasakan derak-derak itu sampai menembus batinku. Kenapa seperti yang pernah
kurasakan lima tahun lalu?
"Kamu mencintainya, Rina?"
"Amat sangat!" kali ini ia menjawab cepat.
Kuhela napas panjang. Kubiarkan kartu-kartu berserakan di antara aku dan Rina.
Kulihat jantungnya seperti bulan tertusuk ilalang.
"Tetapi ia mengecewakanku, Mbak. Ia mengkhianati aku." Ia tidak mampu
lagi menyembunyikan suara gemeretak hatinya yang bagaikan bunyi tembikar
terbakar.
"Ia mengkhianati kamu? Bukannya ia yang mengkhianati istrinya? Bukankah ia
sudah beristri?" aku bertanya, berpura-pura bodoh karena berusaha
menyingkirkan masa lalu yang mulai menggigiti sanubariku. Perih itu masih
terasa.
"Ya. Dia beristri. Tapi istrinya jahat sekali. Ia ingin meninggalkannya.
Ia mencintaiku. Kami punya rencana masa depan," jawabnya naïf dan lugu.
Astaga! Seperti itukah diriku lima tahun silam? Aku benar-benar seperti melihat
cermin diriku.
Kepulan asap dupa melemparku ke kepulan asap lain yang sama pekatnya lima tahun
yang lalu. Aku berada di dalam kepulan-kepulan asap rokok tebal dari mulut para
lelaki berduit yang kutemani duduk-duduk, minum, sampai ke kamar tidur. Para
lelaki yang mabuk kepayang karena kecantikanku sebagai primadona di sebuah
wisma di kompleks hiburan malam. Para lelaki kedinginan yang butuh kehangatan.
Para lelaki kesepian yang butuh pelukan. Para lelaki yang tidak tahu lagi ke
mana bisa menghamburkan uang mereka yang berlebihan.
"Istrinya jahat bagaimana? Namanya istri ya wajar saja dia tidak suka
kalau suaminya berhubungan dengan perempuan lain," sahutku enteng atau
tepatnya aku sudah terbiasa untuk "mengenteng-entengkan" jawaban yang
ujung-ujungnya akan membuatku terluka. "Yang salah, ya suaminya. Sudah
beristri kok masih bermain api. Tetapi namanya laki-laki ya begitu…,"
sambungku pelan.
Laki-laki memang begitu, desahku. Laki-laki memang suka bermain api. Laki-laki
memang suka mendua. Seperti para lelaki yang datang dan pergi di atas
ranjangku. Mereka terbakar hangus gairah memberangus, haus sampai dengus-dengus
napas terakhir. Lalu mereka pergi setelah sumpalkan segepok uang di belahan
dadaku.
"Tetapi Bayu tidak seperti itu!" sergah Rina cepat. "Bayu
mencintaiku, Mbak! Ia tidak akan meninggalkanku."
Ya! Mardi juga tidak seperti laki-laki lain. Ia juga mencintaiku. Mardi tidak
seperti laki-laki lain yang meniduriku dengan kasar. Ia bahkan sangat lemah
lembut untuk ukuran "membeli" kehangatan dari seorang perempuan
seperti aku. Karena Mardi, maka aku tidak mau menerima tamu yang lain. Ia
menginginkan aku hanya untuknya, maka ia membeli dan menebusku dari induk
semangku. Lalu ia membawaku keluar dari wisma itu dan membelikan aku sebuah
rumah kecil. Ia pahlawan bagiku. Ia tidak meninggalkanku. Bahkan memberikan
benih kehidupan baru yang tumbuh di dalam tubuhku. Aku bahagia sekali. Tetapi
kemudian aku memutuskan untuk meninggalkannya.
Kuputuskan untuk meninggalkan Mardi ketika istrinya datang menemuiku dengan
begitu anggun dan berwibawa. Berhadapan dengan perempuan yang begitu berkilau,
tinggi, langsing dengan kulit kuning, ayu dengan wajah priyayi, tutur katanya
lemah lembut, membuatku benar-benar merasa rendah dan tidak ada artinya. Ia
sama sekali tidak menghardik atau mencaci-makiku. Ia sungguh nyaris sempurna
untuk ukuran seorang perempuan, kecuali…belum bisa memberikan anak untuk Mardi!
"Kamu Ningsih? Aku istri Mardi. Namaku Indah."
Oh, ia sungguh-sungguh seindah namanya.
"Aku tahu hubunganmu dengan suamiku," ujarnya dengan menekankan
benar-benar kata "suamiku" itu. "Dan aku tahu kamu pasti
perempuan baik-baik," lagi-lagi ia memberikan tekanan dalam kepada
kata-kata "perempuan baik-baik" yang jelas-jelas ditujukannya
kepadaku. "Sebagai perempuan baik-baik, kamu seharusnya tidak menjalin
hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun," kali
ini ia menekankan setiap kata-katanya sehingga membakat wajahku terasa panas.
"Rina, sebagai perempuan baik-baik, seharusnya kamu tidak berhubungan
dengan laki-laki yang sudah beristri…dengan alasan apa pun…," aku
mengulangi kalimat yang kusimpan lima tahun yang lalu untuk Rina. Sebetulnya
itu klise, bukan? Hanya sekadar untuk menutupi gundah gulanaku yang entah
kenapa merayapi seluruh permukaan batinku.
"Tetapi, Mbak, Bayu mencintaiku…," Rina menjawab. Jawaban itu juga
yang kuberikan lima tahun yang lalu kepada perempuan yang nyaris sempurna itu.
Tetapi ketika itu, ia justru memberikan senyum manisnya. Ia benar-benar tanpa
ekspresi marah. "Laki-laki biasa seperti itu. Tetapi kamu kan perempuan
baik-baik. Walaupun Mardi menggoda, mengejar dan mencintaimu, tetapi bukankah
sudah sepantasnya kamu menolaknya? Kamu kan tahu kalau dia sudah
beristri?" lagi-lagi ia membuatku pias.
Aku berusaha mem-photocopy kata-kata usang itu untuk Rina.
"Tetapi aku juga mencintai Bayu," ia melenguh getir.
Kurasakan getir yang sama ketika aku memberikan jawaban itu pula kepada istri Mardi.
Bahkan waktu itu aku masih memberikan tambahan jawaban. "Aku mengandung
anak Mardi…." Kuharap dengan jawabanku itu ia tidak akan mengusik
perasaanku dengan kata-katanya yang lemah lembut tetapi terasa menampar-nampar.
"Baiklah, aku mengerti kalau kamu mencintai Mardi," ia tertawa pelan
tetapi sungguh terasa kian menusuk-nusuk.
Astaga! Ia tertawa! Terbuat dari apakah perempuan ini?
"Kalau kau mencintai seseorang, maka kau akan melakukan apa saja yang akan
membuatnya bahagia kan?" Ia pandai sekali bermain kalimat. Sebentar
kalimat pernyataan, sebentar kalimat tanya. Tetapi tidak ada satu pun dari kalimatnya
yang membakatku merasa nyaman.
Hei! Konyol benar! Sudah syukur-syukur ia tidak memaki-makimu…, cetus batinku.
"Ya, aku akan melakukan apa saja untuk membuat Mardi berbahagia."
"Nah, kau tahu kalau Mardi adalah tokoh masyarakat yang cukup terkenal dan
disegani di kota ini, kan? Ia memiliki kedudukan, kekayaan, karisma, dan nama
baik. Apakah bisa kau bayangkan bagaimana reputasi Mardi kalau sampai
terbongkar mempunyai hubungan dengan perempuan lain…dan bahkan mempunyai anak
di luar nikah?"
Oh…ia mempunyai tata bahasa yang sempurna! Ia sama sekali tidak menggunakan
kata-kata kasar. Ia memakai istilah "mempunyai hubungan dengan perempuan
lain", ia tidak mengatakan "mempunyai simpanan bekas pelacur",
ia mengatakan "anak di luar nikah", ia tidak mengucapkan "anak
haram". Apakah itu berarti ia menghargaiku? Tetapi kenapa aku justru tidak
merasa dihargai? Aku justru merasa dipermalukan. Ataukah memang pantas aku
dipermalukan?
"Bagaimana? Apakah situasi itu akan baik untuk Mardi?"
"Tidak," aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kata-kata itu.
Ia tertawa pelan tetapi kali ini benar-benar seperti tawa seorang algojo yang
berhasil memengal kepala seorang tawanan yang sama sekali tidak melawan.
"Lalu bagaimana caramu untuk membuat Mardi bahagia? Kamu tidak mau merusak
semua yang sudah dimiliki Mardi, kan?" Ia benar-benar algojo yang
sempurna. Ia memenggal kepalaku tanpa rasa sakit sedikit pun.
Tinggal aku yang menggelepar, terkapar, tanpa pernah merasa sekarat meregang
nyawa.
"Kalau kamu mencintai Mardi, tinggalkan dia, gugurkan kandunganmu. Kamu
pergi jauh dan memulai kehidupan baru. Aku akan membantumu. Kamu cantik sekali,
Ningsih. Aku yakin, tidak akan sulit bagimu untuk mencari laki-laki baik yang
belum beristri," ia menutup eksekusinya dengan kata-kata pelan tetapi
penuh tekanan. "Jelas? Kuharap kamu cukup pandai untuk bisa mengerti
semuanya," tandasnya.
Lalu tidak banyak yang bisa kubantah ketika ia "membantuku"
menyelesaikan semuanya. Ia melakukan transaksi jual beli atas rumah yang kutempati.
Ia menggantinya dengan sejumlah uang yang lebih dari cukup. Ia mengantarku ke
dokter dan membayar semua ongkos "mengeluarkan" calon kehidupan yang
bersemayam di tubuhku. Ia membelikan aku tiket pesawat. Ia mengantarku sampai
ke bandara. Ia memeluk dan mencium pipiku, lalu berbisik, "Selamat
menempuh hidup baru, Ningsih. Tolong, jangan ganggu kehidupan Mardi. Terima
kasih atas pengertianmu. Kamu memang perempuan yang baik…"
Oh! Ia benar-benar perempuan yang sempurna!
Sampai pesawatku tinggal landas, aku tidak bisa menitikkan air mata sama
sekali. Apa yang perlu kutangisi? Perempuan itu tidak memaki atau menghinaku.
Bahkan ia "membantuku" dan memberiku banyak uang untuk memulai
kehidupan baru di kota yang jauh dari mereka. Terasa jutaan sembilu menikam-nikam.
Hatiku terasa sakit tetapi mataku hanya bisa mengembun.
Sejak itu, aku berteman dengan kartu-kartu ini. Kartu-kartu ini pemberian induk
semangku. Aku belajar dari dia membaca kartu-kartu ini. Dahulu, dari
kartu-kartu ini, aku tahu apakah aku akan mendapat banyak tamu atau tidak?
Apakah Mardi akan datang atau tidak.
Ah, kutepis nama itu cepat-cepat.
Aku melanjutkan jalannya kartu-kartu yang masih berserakan di atas meja. Aku
tidak mau mengingat masa lalu yang sudah sekian lama kukubur. Aku tidak mau
menoleh ke belakang karena sangat menyakitkan. Toh, dengan uang yang kubawa,
aku bisa membangun kehidupan baru, membeli rumah ini, membuka warung kecil,
menerima kos-kosan, bertemu Rina…
"Halangan…rintangan…rindu…ah…ia tidak mempunyai uang!" Aku berusaha
mengalihkan rasa lukaku dengan membaca kartu-kartu Rina. Lagi-lagi ramalan itu
yang kubaca dari kartu-kartu yang bertebaran.
"Bingung…perempuan…halangan…Ia merindukanmu juga. Tetapi ia bingung
bagaimana harus menghadapi istrinya," cetusku.
Rina tertawa sumbang. "Bayu memang tidak punya uang. Istrinya yang kaya.
Istrinya yang memegang kendali perusahaan. Istrinya sudah mengetahui hubungan
kami. Dia lalu mengusirnya keluar dari perusahaan. Sekarang ia menghindar
dariku, Mbak! Ia lebih mencintai kekayaan istrinya daripada perasaanku!"
"Bayu mengecewakanku, Mbak," sentaknya. Kali ini embun-embun di
matanya berguguran menjadi rintik hujan. Mengalir deras menganak di lekuk-lekuk
pipinya. "Bayu menipu hatiku, Mbak! Ia takut tidak bisa hidup kaya bila
pergi bersamaku. Aku benci padanya!" Hujan itu sudah menjadi badai. Riuh
rendah bergemuruh seakan puting beliung yang akan merubuhkan apa saja. Lara
berkubang seperti seonggok daun-daun gugur di matanya yang tersayat.
"Apa yang kau inginkan darinya?"
"Aku ingin dia sakit…sesakit yang kurasakan!"
Aku tercenung. Sesakit itu pula yang pernah kurasakan. Betapa rasa benci itu
melebihi rasa sakit. Aku juga benci setengah mati kepada Mardi. Kenapa ia tidak
mencariku kalau ia mencintaiku? Kenapa sejak istrinya yang begitu sempurna itu
menemuiku, ia juga tidak pernah muncul? Lalu ketika istrinya
"membantuku" untuk menyelesaikan semuanya, ia juga tidak ada kabar
berita? Padahal sudah kucari seakan sampai ke ujung dunia. Apakah itu sudah
merupakan kesepakatan mereka berdua?
Akhirnya, aku merasa pencarianku sia-sia. Ia kucari sampai ke ujung mimpi.
Kubatin, kupanggil, kunanti, dengan seluruh pengharapan dan kerinduan. Tetapi
ruang hampa yang kudapati. Sehingga, kuputuskan untuk bersahabat saja dengan
rasa benci dan rasa sakit. Mungkin akan menjadi lebih ramah dan menyenangkan.
Ternyata benar. Membenci lebih mudah daripada memaafkan. Sakit lebih nikmat
daripada pengharapan. Jadilah rasa benci dan sakit yang kusimpan untuk Mardi.
Malam demi malam, kusumpahi kandungan perempuan yang nyaris sempurna itu. Aku
tidak rela menggenapi kesempurnaannya sebagai seorang perempuan dengan seorang
anak, sementara ia menyuruh dokter untuk menyendok dengan mudah sebiji kacang
hijau kecil di dalam rahimku. Biarkan ia juga menikmati sepi yang sama seperti
sepi yang dibelikannya untukku.
Sejak malam itu, malam-malam Rina juga menjadi sibuk. Rina menjadi sangat
menyukai malam seperti aku. Setiap malam, ia mengirimkan rasa sakit yang
dirasakannya kepada Bayu. ***
http://jimmydj81.blogspot.com/2011/12/malam-malam-rina.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
-
Biografi B.J Habibie - Salah satu tokoh panutan dan menjadi kebanggaan bagi banyak orang di Indonesia dan juga Presiden ketiga...
-
FUNGSI TOMBOL PADA KEYBOARD Ctrl + A : Select All Ctrl + B : Bold Ctrl + C : Copy Ctrl + D : Font Ctrl + E : Center Alignment Ctrl +...
-
Pernah dengar tidak istilah ini ???, biasanya siswa bertanya kepada temanya, ada yang bilang pernah dan ada yang tidak, nah bagi yang pern...
-
Speed Startup adalah sebuah program yang akan meningkatkan startup dan kecepatan komputer . Memberikan Anda Kontrol Startup...
-
TERNYATA JOIN DI GLOBALSHARE EMANK BENAR KITA DAPAT SAHAM, KEWAJIBAN KITA CUMA LOGIN TIAP HARI, DAFTAR 100% GRATIS, SILAHKAN JOIN DISINI ht...
-
Berikut ini adalah ukuran standar cetak foto. Karena tujuannya untuk dicetak, maka ukuran resolusinya adalah 300 dpi. · 3R ...
-
Seringkali kita mengeluh windows berjalan lambat, start lama, shutdown lama. Teman kita menyarankan untuk memakai software khusus yang ber...
-
Melindungi komputer anda dari serangan virus semakin sulit setiap harinya. Tidak saja pihak produsen software antivirus yang terus inovatif ...
-
Pattimura, memiliki nama asli Thomas Matulessy (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluk...
-
Anda pernah mengalami Window 7 BSODs (Blue Screen Of Death) pada saat startup. Ada beberapa penyebab di balik masalah ini, namun beriku...
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda. Silahkan berikan komentar tentang artikel ini. jimmydj81.blogspot.com berhak menyaring Komentar yang akan ditampilkan.