Search This Blog

Tuesday, December 6, 2011

Pelanggaran HAM Internasional


1. Prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yg berat sebelah terhadap (suku) bangsa yg berbeda-beda;
2.  Paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yg paling unggul

Apartheid (arti dari bahasa Afrikaans: apart memisah, heid sistem atau hukum) adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990.
Hukum Apartheid dicanangkan pertama kali di Afrika Selatan, yang pada tahun 1930-an dikuasai oleh dua bangsa kulit putih, koloni Inggris di Cape Town dan Namibia dan para Afrikaner Boer (Petani Afrikaner) yang mencari emas/keberuntungan di tanah kosong Arika Selatan bagian timur atau disebut Transvaal (sekarang kota Pretoria dan Johannesburg).
Setelah Perang Boer selesai, penemuan emas terjadi di beberapa daerah di Afrika Selatan, para penambang ini tiba-tiba menjadi sangat kaya, dan kemudian sepakat untuk mengakhiri perang di antara mereka, dan membentuk Persatuan Afrika Selatan.

Friday, December 2, 2011

Pengembara

CINTA membuatku bodoh. Sebetulnya aku membenci keadaan ini. Sudah lama aku tidak jatuh cinta. Dan tiba-tiba makhluk gaib itu datang, menyergapku dari belakang, membantingku dengan kasar, jatuhlah aku ke pelaminan.

Aku seorang pengembara, tapi kini aku terjerat tali pernikahan. Bayangkan. Seorang pengembara terjerat tali pernikahan! Pernikahan tanpa janur kuning melengkung, tanpa kelapa gading menggelantung, tanpa setandan pisang raja, melati dironce-ronce, apalagi gending Kodok Ngorek, tidak ada sama sekali. Semua berlangsung tawar, tidak semerbak, abu-abu, persis mendung menggantung.

PERADILAN RAKYAT

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

Malam-Malam Rina

Ini sudah hari ke Lima Rina kelihatan murung. Kian hari wajahnya semakin mendung dengan mata nanar dan bisu. Kerjanya setiap hari bangun dengan masai lalu duduk termenung.

Sebetulnya itu bukan urusanku. Karena Rina bukan siapa-siapaku. Ia hanya menyewa sebuah kamar di rumahku. Ia tinggal bersamaku baru dua bulan ini. Tetapi entah kenapa aku langsung menyukainya.

Rumahku tidak terlalu besar. Juga tidak terlalu bagus. Sederhana saja. Rumahku berada di kampung yang dindingnya rapat dengan tembok rumah sebelah. Ada tiga kamar kosong. Tetapi aku tinggal sendirian. Karenanya aku menyewakan kamar-kamar kosong itu untuk menunjang hidupku di samping aku membuka sebuah warung kelontongan kecil di depan rumah.

Lelaki dengan Bekas Luka di Jidatnya


Cerpen Sunaryono Basuki Ks

Lelaki yang duduk tepekur di atas kursi malas yang diletakkan di kebun bunga dengan halaman tertutup rerumputan hijau lembut itu adalah seorang pemburu yang terkenal mahir menggunakan senapannya. Tak ada suara anak-anak di rumah itu sebab mereka semuanya, kecuali si bungsu, sudah pergi meninggalkannya mencari rezeki di kota-kota yang jauh, bahkan di sebuah pengeboran minyak lepas pantai di wilayah Ceram.

Langit Menggelap di Vredeburg


Cerpen Sulialine Adelia
Beginilah menjelang senja di jantung kota. Sekelompok remaja nongkrong di atas motor model terbaru mereka sambil ngobrol dan tertawa-tawa. Ada juga remaja atau mereka yang beranjak dewasa duduk berdua-dua, di bangku semen, di atas sadel motor, atau di trotoar. Anak-anak kecil berlarian sambil disuapi orang tuanya. Pengamen yang beristirahat setelah seharian bekerja. Dan orang gila yang tidur di sisi pagar.
Di salah satu bangku kayu panjang, bersisihan dengan remaja yang sedang bermesraan, Reyna duduk menghadap ke jalan. Hanya duduk. Mengamati kendaraan atau orang-orang yang melintas. Menunggu senja rebah di hamparan kota.
Tiba-tiba laki-laki itu sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan. "Apa kabar?" katanya memperlihatkan giginya yang kekuningan. Asap rokok telah menindas warna putihnya.
"Kamu di sini?" Reyna tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Segala rasa berpendaran dalam hatinya. Senang, sendu, haru, pilu, yang kesemuanya membuat Reyna ingin menjatuhkan dirinya dalam peluk lelaki itu.
Begitu juga Mozes, lelaki tua yang berdiri di depan Reyna. Dadanya bergemuruh hebat mendapati perempuan itu di depan matanya. Ingin ia memeluk, menciumi perempuan itu seperti dulu, tetapi tak juga dilakukannya.
Hingga Reyna kembali menguasai perasaannya, lalu menggeser duduknya memberi tempat Mozes di sebelahnya.

Kupu-Kupu Tidur


Cerpen Wawan Setiawan

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

Kota Kelamin



Mataku berkaca membentuk bayangan. Bayangan wajahnya. Wajah pacarku. Wajah penuh hasrat menjerat. Duh, dia menyeringai dan matanya seperti anjing di malam hari. Aku tersenyum dalam hati, ia menggeliat, seperti manusia tak tahan pada purnama dan akan segera menjadi serigala. Auu! Ia melolong keras sekali, serigala berbadan sapi. Mamalia jantan yang menyusui. Aku meraih putingnya, menetek padanya, lembut sekali. Lolongannya semakin keras, menggema seperti panggilan pagi. Pada puncaknya ia terkapar melintang di atas tubuhku. Dan tubuh pagi yang rimbun. Ia tertidur.

Pagi menjelang, ketika gelap perlahan menjadi terang. Tampak tebar rerumput dan pepohonan menjulang, angin dan sungai dan di baliknya bebek-bebek tenggelam dalam gemericik. Kutatap tubuhnya yang berkeringat membasahi tubuhku. Mengalir menumpuk menjadi satu dengan keringatku. Bulir-bulir air seperti tumbuh dari mahluk hidup. Bulir-bulir yang juga dinamai embun-embun bertabur di atasnya, bercampur keringat kami.

Kamar Belakang



Cerpen Teguh Winarsho AS

SAMAR dan kabur pandangan Nastiti, saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Mencoba berdiri lebih tegak, Nastiti benar-benar tak kuat, buru-buru merapat dinding, merambat persis seekor cicak. Nastiti menghampiri kamar depan yang paling dekat, membuka pintu dengan sisa tenaga yang ada, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno tak menduga sama sekali jika Nastiti, istrinya, pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara Nastiti. Wiguno jadi penasaran tak yakin jika istrinya sudah pulang. Anak-anak muda Karang Taruna suka nyelonong masuk rumah memberi undangan. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
Wiguno urung melangkah, menatap Sawitri yang sibuk mengenakan kutang. Ada kecewa di mata Wiguno. Ada hasrat yang belum lunas. "Kita belum selesai…" Wiguno menelan ludah.